Bermain Peran

Bermain Peran

Edisi 13, 13 April 2020

Bayangkan seorang stand up comedian, yang lima menit sebelum naik panggung ia mendapat telepon istrinya yang mengatakan anaknya masuk rumah sakit karena kecelakaan.  Tentunya ia menjadi sangat gelisah dan merasa ingin bisa segera ‘terbang’ ke rumah sakit.  Namun, bisa jadi profesionalismenya menuntut ia untuk tetap manggung mengingat ribuan penonton telah hadir.  Emosinya perlu ia jaga, perhatiannya perlu ia fokuskan dan ia tetap harus tampil sebaik mungkin karena tidak mungkin ia bilang, ‘mohon maaf kalau hari ini saya tampil kurang lucu, tetapi percayalah saya biasanya lucu kok’…..

                Itulah profesionalisme.  Profesionalisme pada salah satu aspeknya adalah bermain peran.  Menjalankan peran profesinya untuk mencapai target yang di set.  Bila kita berharap standard profesionalisme yang tinggi dari komedian, tentunya kita berharap hal yang sama dari para pemimpin dan karyawan organisasi.

                Sayangnya berbagai kasus tidak menunjukan hal tersebut.  Bertengkar dengan pasangan di rumah, seorang pemimpin melampiaskan kemarahannya pada sekretarisnya.  Kesal karena mengalami kemacetan panjang di jalan, pemimpin yang lain merasa punya hak untuk bermuka masam dan berkata kasar saat memimpin rapat.  Ketidakmatangan emosional menjadi salah satu indikator utama dari ketidakprofesionalan.

                Leader ada di organisasi untuk memastikan bahwa sumber-sumber daya yang diserahkan padanya bisa dia konversikan menjadi kinerja optimal.  Tim yang dia pimpin, budget yang diberikan, dan berbagai aset yang ada dia kelola dengan optimal. 

                Berapa banyak kita menemukan kasus dimana semakin besar power yang dimiliki oleh pemimpin karena posisinya, semakin ia merasa bisa menggunakan seenaknya saja.  Power seolah merupakan bagian dari kompensasi yang penggunaannya terserah dia.  Bukan beban yang membuat dia perlu lebih hati-hati dalam menggunakan. 

Banyaknya tim yang ada di bawah kendalinya tidak bisa membuatnya menjadi semakin efektif tetapi membuatnya semakin seenaknya, sehingga bukan respek yang ia dapat tetapi kebencian yang dipendam.  Pada titik itu, bisa jadi tim merasa dia hanya bagian dari beban yang perlu dijaga agar tidak ‘meledak’, dengan cara dipenuhi keinginannya yang tidak masuk akal, didengar ocehan yang tidak perlu.  Pendeknya perlu di-babysitting.  Baca juga Babysitting Your Bos (http://produktivitasdiri.co.id/babysitting-your-bos/)

                MTOP Leader perlu sensitif kapan ia menjadi bagian yang bermanfaat bagi tim, kapan ia menjadi beban.  Kapan ia mengoptimalkan kinerja tim, kapan ia menghambatnya.  Ini bukan proses yang mudah karena ada ego di sana.  Ego yang bisa jadi semakin besar dengan semakin tingginya posisi seseorang. 

Leave a Reply

Close Menu